Berita Banjar, galuh.id – Akademisi pendidikan Sejarah yang juga deklarator Dewan Kebudayaan Kota Banjar, Syarif Hidayat memberikan cara pandang kegaluhan dari prespektif struktur sosial masyarakat Tatar Sunda pada abad ke-14 dan abad ke-15.
Dia pun mengajak kepada para akademisi Galuh untuk bisa memberikan pemahaman dengan cara rekontruksi kesejarahan Galuh dari berbagai aspek keilmuan, baik antropologi, sosiologi, historiografi serta historis.
Menurutnya masyarakat Sunda pada abad tersebut bermata pencaharian serta ahli pertanian dan perdagangan. Karena, ditinjau dari aspek geografis Sunda merupakan daerah agraris serta maritim.
“Pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dan Carita Parahiayangan (CP), sebagian ahli berpendapat bahwa jenis pertanian yang dikerjakan masyarakat Sunda abad ke-14 dan abad ke-15 adalah bercocok tanam. Karena pada naskah tersebut ditulis mengenai perkakas pertanian yang digunakan masyarakat pada waktu itu,” ungkapnya, Sabtu (15/02).
Berdasarkan data akademik tersebut, ditinjau dari prespektif sosiologi dan etnografi, masyarakat Galuh pada waktu itu telah melakukan kegiatan perekonomian dengan bidang pertanian sebagai penghasilan utamanya.
Seperti, penghasil gula aren, penghasil minyak kelapa, sebagai penghasil pewarna biru indigo organik tarum, sebagai penghasil kayu jati, karet serta banyak lainnya.
Galuh sebagai Kerajaan Agraris
Karakteristik masyarakat yang hidup di daerah agraris, kata dia, dalam teori struktur sosial dibagi menjadi dua yakni kaum borjuis dan proletar.
Di Priangan lebih dikenal istilah kaum menak dan somah. Dimana kaum menak pada waktu itu adalah para tuan tanah dan somah merupakan pekerja atau pengelola tanah daripada kaum menak.
Selanjutnya masyarakat agraris pun pandai dalam membuat sebuah aliran irigasi untuk mengairi sawah-sawahnya. Serta berhuma yakni menanam padi di pegunungan.
Fakta sosial dari analisis tersebut menurut Syarif, adalah banyaknya kawasan pertanian di wilayah Ciamis, Banjar yang cukup produktif. Hal itu sebagai mata pencaharian utama masyarakat Galuh.
“Parameter perekonomian itu tidak bisa digeneralisasikan pada satu aspek yang erat kaitanya dengan aktivitas hegimoni ekonomi kerajaan seperti apa yang diimajinasikan. Perekonomian suatu daerah pada masa kerajaan dan sekarang tidak ada yang berbeda di Galuh itu. Karena kehidupan itu merupakan siklus masa lampau ke masa sekarang,” terang dia.
Lebih lanjut Syarif mengemukakan bila indikator kerajaan adanya aktifitas ekonomi pertambangan, maka tambang itu tidak bisa hanya pada emas, batubara. Di Galuh terutama di wilayah Banjar itu sudah ada kegiatan pertambangan di kawasan Sungai Cintanduy.
Bahkan ditinjau dari aspek antropologi Citanduy itu sebagai pusat jalur transportasi antar wilayah Galuh. Maka, munculnya Banjar Patroman sebagai pusat perdagangan Galuh.
“Dan kemaritiman itu tidak harus dikategorikan proses perniagaan di laut lepas saja. Contohnya seperti di Kerajaan Makasar sebagai pusat perdagangan maritim dunia, melainkan perniagaan di sungai pun, itu sudah termasuk kategori maritim. Karena, pada waktu itu, masyarakat Galuh banyak bermukim di kawasan dekat dengan sungai,” ucap dia.
Akademisi Kota Banjar ini menambahkan, tata nilai kegaluhan itu tidak bisa hanya ditinjau dari satu aspek saja. Namun harus dijawab pula oleh berbagai ilmu. (GaluhID/Arul)