Jenis minuman beralkohol dalam undang-undang tersebut, terdiri ddari golongan A dengan kadar etanol kurang dari 5 persen. Golongan B dengan kadar etanol antara 5 s/d 20 persen, dan golongan C dengan kadar etanol antara 20 s/d 55 persen.
Dalam RUU ini juga melarang minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan, baik menambah bahan atau mencampur konsentrat dengan etanol.
Adapun minumal beralkohol tradisional yang menjadi pokok pembahasan seperti sopi, bobo, balo, tuak, arak, atau saguer yang beradal dari olahan pohon kelapa enau atau racikan lainnya.
Meski demikian, larangan ini tidak berlaku untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan. Kemudian wisatawan, farmasi, dan tempat yang sudah mendapat izin oleh Perpu.
Pendapat Negara dari Minuman Beralkohol Cukup Besar
Meski masing menjadi Rancangan Undang-Undang, faktanya pendapatan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) cukup besar.
Tercatat, hingga akhir Juli lalu penerimaan MMEA sebesar Rp 2,64 triliun. Namun, jumlah ini turun jika membandingkan dengan realisasi tahun lalu senilai Rp 3,36 triliun.
Sedangkan pendapatan negara dari peredaran MMEA tahun 2014 sebesar Rp 5,298 triliun. Selain itu juga, tahun 2015 sebesar Rp 4,556 triliun, dan tahun 2016 sebesar Rp 5,304 triliun.
Penyebab pelambatan produksi MMEA dalam negeri merupakan akibat dari penurunan produksinya sejak April dan penutupan kawasan pariwisata yang menekan hal tersebut.
RUU Minuman Beralkohol bisa menguntungkan negara, namun bisa juga merugikan masyarakat. Tentu dengan adanya perbedaan pendapat bisa membuat pemerintah mengkaji ulang peraturan ini. (GaluhID/Hega)