Berita Nasional, galuh.id – Politisi senior Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa kembali menegaskan sepanjang partai politik tidak mandiri dan berharap kepada kekuasaan dan pemodal, korupsi akan tetap terjadi di negeri ini.
Bukan rahasia umum lagi seorang menteri dari parpol tertentu ditangkap KPK karena ngambil uang untuk kepentingan parpolnya.
“Kalau parpol ngak punya duit untuk munas, musda dan muscab mereka cari ke pemrintah, korupsi atau cari pemodal. Saya sebenarnya sedih dengan kondisi ini,” kata anggota DPR-RI dari Dapil Jabar X (Kabupaten Kuningan, Ciamis dan Kota Banjar ini) saat diskusi dengan anggota PWI Ciamis Selasa (24/12/2019).
Menurut Agun, perkembangan demokrasi sampai saat ini, kata Agun, malah membuat korupsi semakin masif baik di pusat maupun daerah dan mayoritas pelakunya adalah para elit politik dan kepala daerah. Bahkan korupsi juga menyertakan pihak swasta.
Berbagai jajak pendapat yang dilakukan berbagai lembaga, kata Agun, juga mengonfirmasi betapa belum berjalannya fungsi parpol secara baik sebagai pilar dari demokrasi.
KPK selaku lembaga superbody yang diharapkan memberantas praktik koruptif dalam penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah sejak didirikan 2002, ternyata tidak mampu menghilangkan korupsi. Korupsi masih saja marak dan semakin menggurita.
Menurut data, kata Agun, sejak 2004, sudah 124 kepala daerah yang notabene terjerat kasus korupsi baik dilakukan sendiri maupun kolektif untuk kepentingan parpol. Ini merupakan fenomena yang dilihat masyarakay sejak reformasi bergulir.
Selain itu kasus-kasus skandal korupsi parpol juga semakin marak dengan melibatkan individu-individu di pemerintahan. Maraknya fenomena ini tidak lain karena parpol belum bisa menjadi institusi yang baik sebagai pilar demokrasi.
“Parpol sampai hari ini belum mampu menjadikan institusi yang menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang bisa berfikir bagaimana menyejahterakan rakyat. Begitu pula jalannya pemerintahan, sebagian besar tidak terlepas dari peran parpol, juga belum mampu membawa ke arah pemerintahan efektif yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.”
Lihat saja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di angka 5 persen, dan peringkat ekonomi kita belum beranjak dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah).
Jadi, jelas Agun, bisa dikatakan parpol dengan wewenang yang begitu besar di era reformasi ini, belum mampu menopang peneyelenggaraan pemerintahan efektif yang mengurus kepentingan rakyat. “Ini terjadi karena figur yang dihasilkan partai tidak punya tekad kuat mewujudkannya atau tak berdaya karena parpol sudah bermasalah.”
Politik Biaya Tinggi
Menurut Kang Agun, kita tidak bisa menutup mata bagaimana faktor politik biaya tinggi baik dalam pemilu legislatif, eksekutif di pusat mapun di daerah, menjadi faktor destruktif bagi parpol sebagai pilar demokrasi. Biaya politik yang tinggi membuat rentannya politisi terjerat korupsi sehingga membuat politik pemberantasan korupsi menemui jalan buntu.
Sudah menjadi rahasia umum, pada arena pilkada, pengeluaran calon pimpinan daerah tidak berhenti hanya sampai operasional kampanye dan Pilkada semata. Lebih awal dari itu, biaya yang harus dikeluarkan kepada parpol yang dikenal dengan ‘mahar politik’.
Istilah ini mengacu ‘pembebanan kewajiban oleh parpol kepada seorang bakal calon untuk mengeluarkan sejumlah biaya sebagai syarat untuk mendapat dukungan atau maju dalam pemilihan’.
UU No: 10/2016, pasal 40 ayat 1 disebutkan, parpol/gabungan parpol dapat mencalonkan kandidat apabila mendapat 25 persen suara atau 20 persen kursi dari jumlah keseluruhan kursi di DPRD bersangkutan, dan bakal calon harus mendapatkan persetujuan dari DPP masing-masing parpol yang mengusulkan.
“Di sinilah umumnya transaksi ‘mahar politik’ terjadi, sebagaimana yang diindikasikan KPU. Bahkan, penelitian KPK terhadap 286 kepala daerah yang kalah dalam Pilkada 2015 menyebutkan, mahar politik merupakan komponen pengeluaran biaya terbesar dari seorang kandidat,” ucapnya.
Besarnya kebutuhan dana membuat rawan terjadinya praktek korupsi dan makin sulit terlaksananya prinsip tata kelola pemerintahan yang efektif, karena gaji ketika mereka terpilih nantinya tidak sebanding dengan pengeluaran untuk Pemilu.
Seperti yang dilaporkan KPK dalam kajiannya terkait pendanaan Pilkada 2015, 51,4 persen responden poltisi mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan dan deposito).
“Jadi, mahar politik tidak lain disebabkan pembiayaan tinggi di arena politik sehingga tidak heran jika partai melakukan jalan pintas seperti berkolaborasi dengan para pemodal dan penguasa, sehingga fungsi rekrutmen yang seharusnya terbuka bagi semua kalangan yang memiliki integritas menjadi didominasi kalangan pemilik modal.”
Padahal, lanjut Agun, proses rekrutmen dan kaderisasi dalam demokrasi dapat diibaratkan bercocok tanam. Untuk mendapatkan hasil yang unggul, juga harus diikuti dengan memilih, menanam dan mengolah bibit itu secara unggul pula.
“Realitas politik dengan sumber dana yang minim akan timbul kadidat dari luar partai yang memiliki dana yang cukup untuk kompetisi politik,”katanya. (GaluhID/Rev)