Tasikmalaya, galuh.id – Penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran pupuk bersubsidi periode 2021–2024 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tasikmalaya kembali menuai sorotan tajam.
Setelah menetapkan tiga tersangka berinisial EN, ES, dan AH, dugaan pihak kejaksaan tidak transparan dalam proses penyidikan.
Bahkan, kasus yang kini dalam pengusutan disebut memiliki kesamaan dengan perkara lama yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kuasa hukum tersangka EN, Junaedi Yahya, S.H., M.H., menilai langkah Kejari Tasikmalaya dalam menangani perkara ini janggal dan berpotensi melanggar asas keadilan hukum.
“Perkara ini sudah pernah diusut dan diputus oleh pengadilan. Klien saya, EN, bahkan sudah menjalani hukuman. Anehnya, kasus dengan materi yang sama kini oleh Kejari Tasikmalaya usut lagi,” ujar Junaedi dalam konferensi pers di Ciamis, Kamis (9/10/2025).
Menurut Junaedi, perkara serupa pernah Bareskrim Mabes Polri tangani terkait dugaan pengoplosan pupuk bersubsidi di Kota Banjar pada tahun 2023.
Kasus itu telah diputus di Pengadilan Negeri Banjar dengan Putusan Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN/Bjr dan telah inkracht.
Selain itu, Junaedi membantah tudingan bahwa kliennya merupakan pemilik CV MMS sejak 2021. Ia menegaskan bahwa EN baru mengambil alih perusahaan tersebut pada Agustus 2024 dari pemilik lama berinisial YD, warga Jakarta.
“Klien saya baru membeli CV MMS pada Agustus 2024 secara sah, dengan akta notaris resmi. Jadi tidak masuk akal bila ia menjadi tersangka atas dugaan penyimpangan periode 2021–2023, saat perusahaan masih milik YD,” tegasnya.
Kejanggalan Penyidikan Kasus Pupuk Bersubsidi
Junaedi juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penyidikan. Ia menyebut Kejari Tasikmalaya merilis adanya penyitaan 7.800 ton pupuk, namun tidak ada temuan satu pun barang bukti fisik di lapangan.
“Faktanya tidak ada satu butir pun pupuk yang di sita. Kapasitas gudang di Ciawi hanya sekitar 4.000 ton. Jadi, kalau benar di sita 7.800 ton, barangnya di mana?” ucapnya.
Ia menambahkan, barang bukti yang di sita justru berupa truk tronton dan mobil Innova. Padahal, kendaraan itu masih dalam status leasing dan tidak relevan dengan perkara.
Lebih jauh, Junaedi mengungkap adanya dugaan pengumpulan dana oleh sejumlah distributor pupuk untuk di setorkan kepada oknum di Kejari Tasikmalaya.
Menurutnya, informasi dari lapangan menyebut sedikitnya 13 distributor menyetorkan sekitar Rp60 juta per orang, dengan total mencapai Rp780 juta.
“Ada informasi soal pengumpulan dana untuk di serahkan ke oknum kejaksaan. Bahkan melibatkan dua orang berinisial E dan Y,” ujarnya.
Ia juga menuding adanya tebang pilih penyidikan, di mana sejumlah distributor besar yang dugaan ikut bermain justru tidak tersentuh penyidik. Meski bukti transaksi telah di serahkan ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Ada yang lebih besar tapi tidak di periksa. Kami menduga ada perlindungan terhadap pihak tertentu,” tambahnya.
Atas berbagai kejanggalan itu, Junaedi meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Agung RI turun tangan memeriksa kinerja Kejari Tasikmalaya.
Ia juga berencana melapor ke Komnas HAM, karena menilai kasus ini melanggar prinsip keadilan dan hak asasi.
“Klien saya sudah menjalani hukuman untuk perkara yang sama. Kalau di seret lagi, itu bentuk ketidakadilan,” tegasnya.
Bahkan, Junaedi mengaku mendapat informasi bahwa ada upaya intervensi agar ia dicopot dari pendampingan hukum. Dengan iming-iming pencabutan status tersangka bagi kliennya.
“Kalau benar, ini sangat tidak etis dan bisa disebut bentuk tekanan terhadap penasihat hukum,” ujarnya.
Kejari Bantah Tudingan Tebang Pilih Penyidikan
Sementara itu, Kepala Seksi Intelijen Kejari Tasikmalaya, Bobbi Muhamad Ali Akbar, S.H., M.H., membantah tudingan tersebut.
Ia menegaskan bahwa proses penyidikan sesuai prosedur hukum dan hingga kini masih berjalan.
“Kasus ini masih dalam tahap penyidikan. Kami belum melanjutkan pemeriksaan. Karena salah satu tersangka sakit dan penasihat hukumnya tidak hadir. Namun prosesnya tidak berhenti,” katanya.
Bobbi juga membantah kabar penyitaan 7.800 ton pupuk. Ia menyebut barang bukti yang di sita sejauh ini hanya kendaraan dan perangkat elektronik yang sedang di audit oleh ahli forensik digital.
“Kami tidak pernah menyita 7.800 ton pupuk. Yang di sita hanya truk, mobil Innova, dan perangkat elektronik. Pupuknya sudah di salurkan ke petani. Tapi sedang kami telusuri potensi penyimpangan penyalurannya,” jelasnya.
Menurut Bobbi, penyidikan kini fokus pada dugaan pengalihan pupuk bersubsidi yang seharusnya untuk petani penerima, namun di jual ke pihak lain.
Ia juga menyebut kerugian negara sementara mencapai sekitar Rp16 miliar, menunggu hasil audit resmi BPKP.
“Kami fokus pada pemain inti. Kalau nanti berkembang, tentu akan kami tindaklanjuti,” ujarnya.
Kasus korupsi pupuk bersubsidi di Tasikmalaya kini memasuki babak baru. Di tengah sorotan publik dan desakan kuasa hukum tersangka, masyarakat menanti transparansi.
Selain itu profesionalitas penegak hukum dalam menuntaskan perkara yang dugaan merugikan negara hingga miliaran rupiah ini. (GaluhID/Tegar)
Editor: Evi

