Opini, galuh.id – Negara Indonesia sudah lama bebas dari penjajahan negara asing, umurnya yang sudah tidak lagi sebiji jagung memberikan impact untuk kehidupan rakyatnya. Sederet prestasi penting dan peristiwa yang tidak surut untuk dilupakan turut serta dalam rangkaian sejarah hidup di negeri ini.
Cita-cita menjadi negara yang adil, makmur, dan sejahtera tentunya tidak mudah bagi Indonesia. Perlu adanya komitmen yang tinggi dari setiap elemen di negeri ini.
Sebagai negara yang menduduki jumlah penduduk tertinggi ke-4 di dunia, tentunya Indonesia yang dinakhodai Presiden Jokowi ini jelas harus lebih ekstra dalam mengontrol dan membawa armada kapalnya.
Dengan limpahan SDA, SDM, dan tingginya intensitas penduduk tidak menutup kemungkinan indikator keberhasilan negara dapat berjalan dengan baik. Namun itu semua belum berjalan sesuai ekspektasi negara yang diharapkan.
Tidak sedikit para pejabat pemerintah maupun petugas negara lainnya menyalahgunakan hak dan kewajibannya untuk kemaslahatan rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Sudah tidak asing lagi di telinga, korupsi menjadi wabah moral yang menggerogoti setiap proses pelaksanaan hidup bernegara.
Korupsi menjadi hal yang complicated bagi apa saja yang bisa masuk ke dalamnya. Tidak mengenal posisi, jabatan, dan waktu tentunya berapapun jumlahnya menjadi kerugian besar untuk rakyat dan negara.
Sejarah Korupsi di Negeri Indonesia
Sejarah korupsi di negeri yang bernama Republik Indonesia ini ternyata tidak kunjung berhenti. Orde berganti orde, rezim berganti rezim, partai berkuasa yang satu diganti partai berkuasa yang lain, tapi korupsi tetap menjadi masalah yang sukar diatasi.
Dari rezim ke rezim, orde ke orde, senantiasa timbul kesan bahwa prakarsa pemerintah untuk menjalankan program pemberantasan korupsi adalah “setengah hati”. Manuver-manuver para koruptor dan calon koruptor pun selalu membayang-bayangi usaha pemberantasan korupsi.
Tidak hanya birokrat yang ada di kekuasaan eksekutif ikut merancang manuver-manuver itu, tetapi juga para anggota dewan tingkat pusat maupun daerah di ranah legislatif, maupun para penegak hukum di ranah yudikatif, harus ikut berpartisipasi guna memperlemah pemberantasan korupsi di negeri ini.
Seperti yang kita ketahui, bahwasannya korupsi yang terjadi di negara ini harus segera diberantas karena jika tidak maka akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang seharusnya bisa sejahtera dengan memaksimalkan kekayaan alam yang ada.
Pemerintah Indonesia tentunya sudah berupaya secara maksimal untuk memerangi korupsi dengan berbagai cara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara independen yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi, menjadi upaya pencegahan dan penanganan praktek korupsi.
Namun di sisi lain, upaya penanganan pun membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Ditambah dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Upaya pemberantasan korupsi yang paling murah dan efektif yaitu dengan tindakan pencegahan (preventif). Seperti misal pendidikan anti-korupsi dan penanaman nilai-nilai integritas kepada para pelajar sejak dini.
Ada beberapa opsi pendekatan yang membuat pendidikan anti korupsi harus dilakukan secara dinamis dan konstan.
Sejauh ini gerakan melawan korupsi dijalankan di berbagai belahan dunia bisa dikategorikan dalam 4 bagian.
Hal ini juga yang disosialisasikan kembali bersama Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI dalam penerbitan buku yang berjudul “Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi”. Keempat hal tersebut adalah:
1. Pendekatan Pengacara (Lawyer approach)
Dalam pendekatan ini fokus utama dilakukan pada pemberantasan dan pencegahan korupsi melalui penegakan hukum, dan aturan-aturan hukum yang berpotensi menutup celah-celah tindak koruptif serta aparat hukum yang lebih bertanggungjawab.
Hal ini biasanya berdampak cepat (quick impact). Meskipun di Indonesia misalnya, tantangan terbesar justru berasal dari para aparat penegak hukum (kepolisian dan pengadilan).
2. Pendekatan Bisnis (Business approach)
Pendekatan ini yaitu mencegah terjadinya korupsi melalui pemberian insentif bagi karyawan melalui kompetisi dalam kinerja. Dengan kompetisi yang sehat dan insentif optimal tentunya diharapkan orang tidak perlu melakukan korupsi untuk mendapatkan keuntungan.
3. Pendekatan Ekonomi (Economist approach)
Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah menciptakan kerja sama antar agen (sesama pegawai instansi pemerintah) misalnya, dan sesama klien sehingga semua berlomba menunjukkan kinerja pasar yang baik (tidak koruptif) sehingga bisa diukur pelayanannya.
4. Pendekatan Budaya (Cultural approach)
Dalam pendekatan ini fokus membangun dan memperkuat sikap anti korupsi individu melalui pendidikan dalam berbagai cara dan upaya.
Pendekatan ini perlu proses yang intens dalam implementasiannya. Biaya tidak cukup besar (low costly), namun hasilnya akan berdampak pada jangka panjang (long lasting).
Dari keempat pendekatan di atas tentunya bisa dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari sektor pemerintahan, swasta, organisasi ataupun unit-unit masyarakat lainnya.
Namun harus fokus pada pentingnya pendekatan budaya (cultural approach). Pendidikan formal maupun non formal akhirnya bisa menjadi pilihan.
Secara umum, pendidikan berorientasi pada membangun kembali pemahaman yang benar dari masyarakat mengenai korupsi, meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap segala potensi praktek koruptif yang terjadi, mencegah tindak korupsi sekecil apapun, dan berani menentang perilaku korupsi yang akan terjadi.
Tujuan praktis ini apabila dilakukan bersama-sama semua pihak akan menjadi gerakan massal yang akan mampu melahirkan bangsa baru yang bersih dari ancaman dan dampak korupsi. (GaluhID)
Penulis: Muhamad Imran Hidayat, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.