Berita Ciamis, galuh.id – Program Magister Hukum Pascasarja Universitas Galuh Ciamis gelar Webinar hukum nasional tentang polemik RUU HIP atau (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila).
Webinar hukum nasional yang bertema “Polemik RUU HIP: Mau Dibawa Kemana Pancasila Kita?”, digelar pada Senin (26/6/2020).
Seminar yang berlangsung melalui Zoom Apps dan YouTube streaming tersebut diisi dua orang narasumber berkompeten pada bidangnya.
Dosen Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis, Dr. Ida Farida, S.H., M.H., menjadi narasumber pada acara tersebut.
Narasumber lainnya adalah Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UMS Prof. Dr. H. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum.
Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Ketua Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis, Dewi Mulyanti, S.H.,M.H.
Pada sambutan, Dewi menyampaikan Program Magister Hukum Universitas Galuh akan terus memberikan kontribusi bagi pembaharuan hukum di Indonesia.
“Dengan segenap kemampuan dosen dan mahasiswa yang dimiliki, kami siap responsive serta memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan hukum,” jelasnya.
Solusi terhadap permasalahan hukum menurut Dewi, baik hukum tingkat nasional maupun hukum tingkat lokal.
Kemudian tujuan dari diadakannya webinar yaitu mengajak berfikir secara komprehensif mengenai latar belakang RUU HIP secara filosofis dan sosial.
Sehingga mampu memberikan masukan terhadap keberlanjutan RUU HIP bagi DPR dan Pemerintah, agar tidak menjadi polemik.
Polemik RUU HIP Menimbulkan Khawatiran
Sementara itu menurut salah satu narasumber Prof. Aidul, Pancasila merupakan filosofi bangsa Indonesia yang harus dijaga keberadaannya.
“Pancasila harus dijaga, karena telah melalui berbagai proses tahapan mulai dari tahapan konsepsi, politik dan yuridis,” jelas Prof. Aidul.
Prof. Aidul menyampaikan RUU HIP memiliki problematika baik secara material maupun formil, secara filosofis Pancasila merupakan filosofische grondslaag atau weltanschauung.
Kemudian filosofische grondslaag atau weltanschauung direduksi menjadi haluan yang bersifat instrumental.
Secara sosiologis tidak memenuhi fungsi hukum sebagai alat integrasi social karena membuka kembali konflik ideologis di Konstituante (1956-1959).
Pancadila menurut Prof. Aidul, seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, apalagi dimunculkan pada saat pandemi Covid-19.
Mengenai dampak dari RUU HIP, Prof. Aidul menyebut akan membuka kembali konflik idiologi di konstituante antara kaum nasionalis dan Islam.
“Sehingga dengan adanya konflik akan mempertajam polarisasi politik di Indonesia, dan mengancam disintegrasi bangsa, membuka kembali wacana Nasakom,” jelasnya.
Prof. Aidul menambahkan dengan adanya wacana Nasakom dari Bung Karno akibat dari tidak dimasukannya TAP MPRS No.XXV/MPRS/1996.
Dengan adanya wacana Nasakom dari Bung Karno tersebut, mengakibatkan munculnya kembali isu kebangkitan komunis di Indonesia.
Sementara itu narasumber yang lain Dr. Ida Farida menyampaikan RUU HIP diusulkan oleh DPR yang memiliki polemik yang cukup pelik.
“Tidak adanya urgensi yang mendasar serta kurangnya muatan materi/substansi merupakan bagian dari yang harus dikritisi dari RUU HIP ini,” jelasnya.
“RUU HIP ini membuka mata kepada kita semua, ternyata tantangan terhadap meneguhkan nilai-nilai Pancasila di zaman sekarang nyata adanya,” tambahnya.
Dr. Ida Farida menegaskan masa depan Pancasila ada di tangan bersama, terutama generasi muda atau kaum millenial. (GaluhID/Ardiansyah)