Opini, galuh.id – Saya tidak mau berpolemik apa makna new normal atau berdamai dengan Corona dalam konteks kehidupan bagi para pekerja seperti saya di sektor informal.
Di mata saya, Corona tidak semenakutkan dibanding melihat keluarga kelaparan dan stress bagaimana mencukupi kebutuhan hidup.
“Kalau bisa Pak, kalau boleh ya Pak ya, saya mewakili ibu-ibu, kami butuh makan Pak, anak kami masih kecil-kecil. Di luar kami mati karena corona, di rumah kami mati kelaparan Pak.”
Saya mendengar omelan itu dari sebuah video viral beberapa waktu yang lalu. Seorang ibu yang tengah berjualan di pinggir jalan, digeruduk oleh 2 anggota Kepolisian.
Alasannya karena si ibu itu melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sedang diberlakukan di daerah Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten.
Di dalam video berdurasi 2 menit itu, pedagang yang diketahui bernama Yernis dan berasal dari Padang, Sumatera Barat, tengah menjajakan barang dagangannya di lapak yang biasa ia tempati.
Sembari berurai air mata, Yernis mengungkapkan kekesalan isi hatinya kepada dua anggota polisi tersebut yang menemuinya.
Secara reaktif, sebenarnya saya kepingin mengumpat kepada kedua bapak Polisi itu. Tentu saja biar dibilang intelek. Mengumpat belakang ini sudah jadi hobi yang tercitrakan keren. Tapi saya urungkan karena itu bukanlah kebiasaan saya.
Perekonomian Lumpuh
Semua orang tahu bahwa pandemi telah mengacak-acak banyak aktivitas perekonomian. Orang tidak bisa lagi berinteraksi dengan bebas seperti biasanya.
Sementara, sampai hari ini mayoritas pekerjaan di sektor informal masih mengandalkan perjumpaan wajah dengan wajah.
Selain keprihatinan terhadap ibu Yernis itu, sudah sering kita membaca berita tentang para pemilik usaha yang menderita kerugian. Dari kerugian itu barang produksi mereka susah terjual.
Banyak juga para pekerja yang kehilangan mata pencahariannya karena pandemi ini.
Sampai-sampai beberapa teman Facebook saya yang memiliki tempat usaha, sudah mengeluhkan efek dari pandemi ini.
Usaha mereka dibuat porak poranda, pemasukan menipis, pabrikasi terganggu, tapi beban pengeluaran tetap. Ini yang membuat dunia usaha diambang kebangkrutan massal.
Bahkan, badan keuangan dunia (IMF) menyebutkan bahwa resesi ekonomi era saat ini, bisa lebih buruk dari depresi besar dunia pada tahun 1930-an.
Namun, satu hal sebenarnya masih sama, hanya saja telanjur banyak orang melupakannya, yakni bahwa konsumen masih tetap ada meski tidak bisa ke mana-mana, dan produsen masih juga bisa berproduksi meski kesulitan menjualnya.
Alhasil, bagi para pelaku usaha yang masih beraktivitas dan tak mendapatkan kebijakan WFH (Work From Home) pun tetap menjalankan usahanya di tengah pandemi virus Corona agar tidak mobat-mabit.
Berdampingan dengan Corona
Salah satu teman saya yang juga pemilik tempat usaha di bidang jasa pengelasan, sebut saja namanya Gandi, sudah mencontohkan bagaimana hidup ‘berdampingan’ dengan Corona.
Gandi yang tempat usahanya terletak di kawasan Depok ini bercerita bahwa dari dampak wabah virus Corona, orderan pekerjaannya masih ada saja. Meskipun tak terlalu ramai, apalagi dirinya memiliki 5 karyawan yang bekerja di Bengkel pengelasannya.
Menurutnya, sebelum lebaran tiba kerjaan di tempat usahanya masih ada saja.
Meskipun harus berinteraksi langsung dengan konsumen, namun tetap berdisiplin, jaga jarak dan menghindari kontak terlalu dekat.
Teman saya ini tak memungkiri rasa khawatir terhadap wabah virus Corona selalu ada dalam benaknya. Walaupun ia beserta karyawannya sehat-sehat saja tanpa ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Padahal lokasi usahanya yang beralamat di Depok tempat dirinya mengais rezeki seperti diketahui merupakan salah satu wilayah zona merah, belum lagi kalau orderan pekerjaannya sampai ke Jakarta.
Apa yang dilakukan oleh teman saya ini, perlunya untuk berpikir kembali lebih realistis untuk berdamai, hidup berdampingan dengan Corona dalam era new normal.
Serta harus dimaknai dengan mengenali cara penularannya, membiasakan pakai masker, cuci tangan, selanjutnya move on dan kembali beraktivitas.
Semua pekerjaan dan usaha yang dilakukan oleh Gandi tidak mungkin diselesaikan melalui aplikasi zoom-meeting; Aplikasi zoom tidak bisa membuat pekerjaan pertukangan ini selesai dengan sendirinya.
Kerja di Rumah Tak Berlaku untuk Pekerjaan Pertukangan
Kampanye kerja di rumah saja hanya efektif dilakukan oleh sebagian kecil warga. Sebab menurut data BPS di tahun 2019, ada sekitar 10,60 persen jiwa yang bekerja di sektor konstruksi.
Sementara pekerjaan pertukangan hanya bisa diatasi dengan cara keluar rumah dan face to face. Sekali lagi, hidup itu adalah seni memanajemen risiko, bukan memperturutkan ketakutan menghadapi risiko.
Berdiam diri di rumah saja dan berharap vaksin Corona cepat ditemukan hanya akan melahirkan pandemi baru: kemiskinan dan kelaparan. Saya kira, pandemi merupakan tantangan bagi para pengusaha maupun pekerja.
Dengan akan dikeluarkan kebijakan baru dari pemerintah pusat, yakni penerapan new normal, semoga semua kegiatan terutama di bidang bisnis dan usaha dapat dilakukan secara normal serta tidak khawatir akan tertular virus tersebut.
Hidup berdampingan dengan Corona mungkin saja oleh sebagian orang akan lebih berat. Namun, kita sekarang mau tak mau harus mulai mencobanya. New normal, siapa takut? (GaluhID/Dhi)