Opini, galuh.id – Akhir-akhir ini beredar kabar tentang kebijakan Kemendikbud tentang penghapusan ujian nasional (UN). Sontak berbagai media baik media cetak maupun media elektronik berlomba mengabarkan tentang kebijakan yang digagas oleh Kemendikbud.
Keramaian ini tidaklah aneh mengingat hampir semua warga negara bersangkutan dengan dunia pendidikan, entah anak, saudara, teman dan bahkan tetangga. Maka tak heran kebijakan pendidikan selalu menjadi ramai dan diperbincangkan.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kemendikbud memang selalu menjadi sorotan mengingat baha pendidikan merupakan investasi jangka panjang bagi suatu bangsa.
Dalam satu windu terakhir setidaknya ada 4 buah kebijakan kemendikbud yang menjadi viral dan perbincangan di negeri ini.
Pertama kebijakan penggantian kurikulum dari KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) menjadi kurikulum 2013 yaitu pada saat Kemendikbud dikomandoi oleh Muhammad Nuh.
Kedua, ketika Anis Baswedan menjadi mentri pendidikan dan kebudayaan. Kemendikbud kembali melakukan perubahan dengan mengembalikan kurikulum pada KTSP.
Setelah resafle Kemendikbud dikomandoi oleh Muhajir Efendi yang menggatikan Anis, tidak kalah dengan dua mentri sebelumnya dan tidak tanggung-tanggung, Muhajir Efendi menelurkan dua kebijakan yang membuat seantero Negeri ini ramai membicarakannya.
Kebijakan yang pertama adalah Full Day School dan kebijakan yang kedua adalah sistem zonasi.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan sebuah inovasi dan langkah-langkah dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia dengan jalan top down inovasion.
Top down inovasion merupakan suatu usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan.
Untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan efesiensi waktu dan sebagainya, bersifat mengajak, menganjurkan dan memaksa.
Terpilihnya Nadiem sebagai Mentri pendidikan dan kebudayaan sudah pasti akan melakukan inovasi dalam dunia pendidikan.
Nadhim Anwar Makarim yang merupakan pendiri Gojek, perusahaan yang saat ini menjadi salah satu dari 19 decacorn di dunia diharapkan mampu memproduksi kebijakan pendidikan yang inovatif.
Selain itu harus tepat sasaran di era serba disrupsi, agar menghasilkan anak bangsa yang berkwalitas di masa yang akan datang.
Setelah sebulan dilantik sebgai mentri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem langsung menggebrak dengan rencana kebijakan dengan slogan “Merdeka belajar” yang isinya ada empat point, yakni penilaian ujian sekolah berbasis nasional (USBN), perubahan sistem UN, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan penerapan sistem zonasi yang lebih fleksible.
Ujian sekolah berbasis Nasional (USBN) akan diganti dengan ujian sekolah yang diadakan oleh sekolah. Ujian ini dilaksanakan untuk menilai kompetensi siswa, dan dapat dilakukan dalam bentuk tes tulis atau bentuk penilaian komperhensif seperti portofolio.
Namun yang paling menjadi sorotan ialah digantinya sistem UN. Mualai tahun 2021 akan dilaksanakan asesmen kompetensi dan survei karakter.
Penguatan karakter pendidikan, kemampuan nalar bahasa (literasi), dan kemampuan menggunakan matematika (numerasi) itu semuanya masuk sistem.
Asesmen dan ujian sekolah akan dilaksanakan pada siswa yang berada di tengah jenjang. Siswa kelas 4 di jenjang SD atau sederajatnya, kelas 8 di tingkat SMP atau sederajatnya, dan kelas 11 di jenjang SMA atau sederajatnya.
Hal demikian dilakukan agar guru dan sekolah dapat mengevaluasi dan memperbaiki mutu pembelajaran, sehingga siswa dapat mencapai kompetensi yang diharapkan.
Tentu saja kebijakan baru banyak menuai pro dan kontra. Kebijakan merdeka belajar ala Nadiem yang paling menjadi sorotan ini menuai beberapa tanggapan para tokoh.
Buya Syafi’i Maarif misalnya, mengatakan agar hati-hati dengan kebijakan ini, dan perlu mengumpulkan para pakar pendidikan sebelum dilaksanakannya kebijakan tersebut. Buya khawatir, bila UN dihilangkan dan diganti sistemya, para siswa akan menjadi malas belajar.
Namun komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Retno Listyarti sangat mendukung kebijakan penggantian sistem UN.
Menurutnya metode UN membuat siswa menghafal bukan belajar, dan bila UN dihapuskan para siswa akan terbiasa menggunakan penalaran dalam belajar.
Terlepas dari pro dan kontra pandangan para tokoh, bila dicermati lebih mendalam sebenernya UN memiliki cukup banyak manfaat.
UN merupakan jalan termudah untuk pemerataan pendidikan. sekolah akan merespon kedatangan UN dengan menambah beajar para siswanya dengan soal-soal yang mungkin akan keluar di UN.
Hal ini menjadikan para siswa di seluruh negeri memiliki kompetensi yang hampir sama, yaitu materi-materi yang diperkirakan akan muncul di soal UN.
Baik sekolah yang berada di tengah kota ataupun sekolah yang berada di desa terpencil, sekolah yang dianggap favorit maupun yang dianggap kurang favorit, negeri ataupun swasta semua mempersiapkan para siswanya dengan memberi tambahan belajar untuk menghadapi UN.
Selanjutnya dengan adanya UN, mau tidak mau para siswa dituntut untuk semangat belajar. Sistem pengawasan UN yang ketat dan soal yang berbeda-beda membuat siswa harus bisa mengerjakan dan menyelesaikan ujiannya sendiri.
Maka jalan satu-satunya agar lolos dari ujian ini adalah belajar dengan giat agar mampu mengerjakan soal-soal UN.
Selain memiliki beberapa kelebihan, UN juga memiliki beberapa kekurangan. Anggapan bahwa sekolah yang paling mengenal siswanya merupakan lembaga yang paling berhak menentukan kelulusannya.
Maka ujian yang dilaksanakan sekitar 4 hari tersebut dianggap tidak layak untuk mentukan nilai keseluruhan para siswa.
Yang selanjutnya, dengan berlandaskan teori multiple intelegent, tidak semua siswa mampu mempelajari dan menguasi mata pelajaran yang diujikan pada UN.
Ini yang membuat siswa cenderung stres, dan orang tua yang takut mendengar keluhan anaknya yang merasa tidak mampu untuk menjawab soal-soal UN.
Alasan tersebutlah yang menjadi pijakan kebijakan mentri pendidikan dan kebudayaan untuk merubah sistem UN menjadi asesment dan survei karakter. Namun dengan munculnya kebijakan tersebut, segudang permasalahan telah menanti.
Masalah yang paling utama sekali adalah sumber daya manusia para siswa Indonesia yang belum terbisa sebagai masyarakat pembelajar. Dibuktikan dengan sangat lemahnya literasi di Negara kita.
Maka sekali lagi patut kita pertanyakan, apakah dengan asesment ini para siswa menjadi lebih bersemangat dalam belajar, atau justru sebaliknya, para siswa tidak terbiasa dalam tekanan.
Sehingga menjadikannya malas belajar dan yang terjadi justru para siswa terlampau jauh di bawah standar kompetensi yang diharapkan.
Penulis: Adi Irfan Marzuqi, S.Pd.i, M.Pd