Ndu Corner – Laga Perserang vs PSGC Ciamis yang berakhir dengan kekalahan 1-0 di Stadion Maulana Yusuf, Jum’at (19/7/2019) kemarin jadi laga paling menyakitkan sepanjang saya follow PSGC over the land and sea.
Saya pernah menyaksikan PSGC kalah dan terdegradasi ke Liga 3 di Madiun, saat itu juga kebetulan kalahnya dari Perserang Serang. Tapi saat itu walau jauh-jauh ke Madiun saya masih bisa enjoy, saya bersama teman-teman dari Balad Galuh masih bisa bercanda di Kereta Api yang kami tumpangi saat itu.
Kekalahan menyakitkan lainnya, saat kami menyeberang lautan untuk mendukung PSGC di Lampung pada gelaran Liga 3. Saya menuliskannya dalam ‘Setiono ‘Si Termos’ dan Ujian Kesetiaan Suporter PSGC Ciamis.
Dari semua kekalahan itu, pertandingan kemarin itu yang paling menyakitkan. Saya merasakan betapa tidak ada harga dirinya jadi suporter tim medioker yang kalah 5 kali beruntun. Kami keluar dari Stadion Maulana Yusuf dengan berderai air mata. Adik saya bahkan sempat histeris saat masih di Tribun. Saat keluar Stadion, saat sedang sakit-sakitnya kami karena kekalahan kami, sejumlah orang menertawakan kami.
Puncaknya terjadi saat kami mau bersiap pulang usai pertandingan Perserang vs PSGC Ciamis, tentu dengan membawa luka hati akibat kekalahan. Saat itulah saat kami bersiap pulang, sejumlah suporter lawan dari kelompok Ultras mengejar teman kami. Kami dituduh mencaci maki tim mereka. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kami mencaci maki tim kami sendiri. Kami berusaha maklum, alkohol memang selalu jadi biang rese.
Kami pulang dengan terlebih dahulu ‘berjabatan tangan’, tapi saya sulit melupakan hinaan itu. Saya menyebutnya dengan ‘hinaan’. Jika mereka bilang kami disambut dengan alakadarnya, tidak ada sambutan itu.
Saya masih ingat, adik saya menangis, kata-katanya yang keluar saat keributan itu terjadi, masih terngiang terus bahkan sampai saya menulis ini. “Sudah sudah…kita sudah kalah, kita cuma ingin pulang, nggak mau ribut,”. Iya kami cuma ingin pulang dan berbaring di kasur sambil meratapi kekahalan sekali lagi. Kami tidak ada energi untuk ribut.
Sebenarnya, perlakuan tidak enak, sudah kami dapatkan bahkan sejak menjelang kick off laga Perserang vs PSGC Ciamis. Ketika masuk Stadion dari pintu Timur, kami sudah bagikan tiket per orang satu, tapi Panpel meminta kami untuk mengumpulkan tiket di satu orang, lalu menghitung jumlah yang masuk. Ada indikasi tiket yang kami berikan tidak disobek. Saya merindukan penjaga pintu di Stadion Galuh yang tidak pernah bikin rungsing suporter tamu.
Pembatas tribun yang rapuh sempat copot, jalan menuju lapangan terbuka lebar. Jika saja kami ingin, kami bisa menerobos masuk lapangan dan bikin ricuh dengan menyerang –tentu saja- tim kami sendiri. Sekali lagi tim kami sendiri yang bermain dengan mengecewakan. Apalagi tidak ada petugas keamanan yang menjaga kami.
Adik saya sempat bertanya, bagaimana kalau kita menerobos ke lapangan? Saya bilang jangan, PSGC bisa kena denda, daripada uangnya buat bayar denda mending buat memperbaiki tim. Ade Deni Kurniawan, yang dikenal juga sebagai Divisi Tiketing Balad Galuh sudah sempat masuk ke pinggir lapangan, saya tergoda untuk mengikuti langkahnya.
“Ayo Wo kita serang ke tengah,” begitu saya sempat bilang sambil bersiap-siap naik ke pembatas yang pagarnya sudah copot saat laga Perserang vs PSGC itu.
Denkur –demikian dia biasa dipanggil- berdiri di rumput yang terlihat sengaja dibakar di pinggir lapangan Stadion Maulana Yusuf, Serang. Dia menahan saya. “Jangan, nanti saja di Ciamis, jangan di sini, lembur batur,” katanya.
Saya kembali kangen Stadion Galuh kami, tim kami kalah, tapi selalu ada Bapak Polisi yang berjaga di tiap Tribun. Saya selalu merasa aman nonton di Stadion Galuh, walau diserbu suporter tamu, tapi kami yakin aman, karena ada Bapak Polisi yang sigap bekerja.
Ketika teman kami dikejar dan hampir dipukuli usai laga Perserang vs PSGC Ciamis, tidak ada keamanan di sana. Kami melihat bapak Polisi hanya ada di Tribun dekat VIP ketika pertandingan berlangsung. Tidak ada yang menjaga kami di Tribun. Untungnya kami punya akal sehat sehingga tidak terpicu ribut dan menerobos lapangan.
Kami berusaha mendamaikan sebisanya. Beruntung masih ada suporter yang waras di antara kami. Beruntung sebagian dari kami bisa menahan emosi. Saya sendiri tidak bisa. Kalah dan dihina, itu udah combo maut pemicu emosi tinggi.
Perlakuan yang kami dapat di lembur batur, membuat saya lebih menghargai kerja Panpel PSGC. Keamanan itu penting. Saya teringat cerita salah seorang Panpel PSIS Semarang saat saya bersama Panpel PSGC menyambangi Semarang beberapa waktu lalu. Katanya, jika ada suporter kami yang ribut, suporter lainnya sudah mafhum.
“Pukuli mereka yang ribut sampai babak belur, asal jangan mati saja. Suporter kami sudah tahu, keributan akan merugikan PSIS Semarang,” katanya.
Hal itu saya camkan benar di benak saya, ‘keributan akan merugikan tim,’ semoga semesta lebih menyabarkan kami yang didera kekalahan beruntun sampai 5 kali dan belum pernah menang sekalipun atau bahkan meraih poin sejak gelaran Liga 2 tahun 2019 digelar, termasuk saat laga kelima Perserang vs PSGC Ciamis, kami kalah 1-0 di Stadion Maulana Yusuf, Serang. (galuh.id/Ndu)