Selasa, Maret 19, 2024

Penundaan Pilkades Serentak Tahun 2020 dalam Perspektif Politik Hukum

Baca Juga
- Advertisement -

Pandemik Covid 19 tidak saja telah mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat tetapi juga telah mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi. Secara sederhana dapat kita saksikan bagaimana terjadi PHK, penutupan pabrik dan industri. Bahkan di bidang ekonomi secara teknikal, Indonesia sudah disebut para ahli ekonomi masuk pada kondisi resesi dengan pertumbuhan -5,32 persen.

Tidak berhenti di sana, kondisi pandemi juga telah mendorong terjadinya perubahan tatanan hukum di republik ini. Salah satunya melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang Undang oleh DPR RI menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal itu tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Ini kemudian tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Kemudian dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.

Secara sederhana Undang-undang tersebut telah memberi ruang yang leluasa kepada eksekutif di semua tingkatan untuk melakukan refocusing dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja. Di sisi lain mengamputasi tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dalam menetapkan APBN/APBD. Ini menjadi Ironi tata kelola pemerintahan yang secara normal mengharuskan DPRRI/DPRD sebagai pemilik hak budget untuk menetapkan APBN/APBD.

- Advertisement -

Tulisan ini secara spesifik akan menyoroti terkait polemik penundaan waktu pelaksanaan Pilkades serentak khusus di Kabupaten Ciamis. Karena terkait hal tersebut keluar surat edaran dan surat keputusan mendagri yang berisi tentang proses penundaan Pilkades Serentak.

Penundaan tersebut dinilai banyak kalangan khusus mereka panitia pelaksana dan para Calon Kepala Desa sebagai bentuk ketidakadilan. Ini dapat dipahami karena penundaan Pilkades dilakukan pada akhir tahapan penyelenggaraan Pilkades atau hanya menyisakan tahapan pemungutan suara.

Pengaturan Waktu Pemilihan Kepala Desa Serentak

Pemilihan Kepala Desa Serentak sebagai amanat dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan Kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan waktu pelaksanaannya. Hal tersebut diatur dalam Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Ketentuan tersebut sangat jelas tertuang pada Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai interval waktu pemilihan kepala desa secara bergelombang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati/Wali Kota.

Namun demikian ada ketentuan lain yang menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk menunda proses Pemilihan Kepala Desa yang tertuang dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 57 Ayat (2) yang berbunyi “Kebijakan penundaan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri”.

Ketentuan tersebut secara hukum menjadi wajar, karena pemberian kewenangan kepada Bupati untuk menetapkan waktu pemilihan kepala desa sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang untuk dan atas pertimbangan nasional tertentu harus tunduk dan patuh kepada ketentuan pemerintah pusat.

Khusus di Kabupaten Ciamis, melalui Keputusan Bupati Ciamis telah ditetapkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa serentak dilaksanakan pada tanggal 12 April 2020.

Namun pelaksanaannya batal digelar karena pertimbangan kondisi Pandemi Covid-19 sesuai Surat Edaran Mendagri Nomor 141/2577/SJ tanggal 24 Maret 2020 bahwa dalam rangka menghambat penyebaran wabah Covid-19, Kemendagri menyarankan menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa serentak dan pemilihan Kepala Desa Antar Waktu.

Menindaklanjuti Surat Edaran tersebut, Bupati Ciamis mengeluarkan keputusan penundaan Pilkades melalui surat Nomor 141.1/Kpts.152-Huk/2020 tentang Penundaan tahapan pemilihan kepala desa serentak tahun 2020 di Kabupaten Ciamis.

Penundaan tersebut tidak mendapat reaksi negatif dari masyarakat, semua pihak menerima keputusan karena kondisi pandemik yang memang sangat membahayakan keselamatan jiwa masyarakat.

Namun dalam perjalanan berikutnya, saat kondisi Covid-19 sudah dianggap melandai, keinginan masyarakat untuk segera dilanjutkan tahapan Pilkades kembali mengemuka. Salah satunya desakan yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Pilkades (FMPP) dengan melakukan audiensi kepada Bupati Ciamis dan kepada DPRD Kabupaten Ciamis.

Dengan melalui tahap pengkajian kondisi epidemologis dan persetujuan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dan berbagai pertimbangan pertimbangan lainnya, Bupati Kabupaten Ciamis menerbitkan keputusan melanjutkan tahapan pelaksanaan Pilkades dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 141.1/Kpts.385-Huk/2020 Tgl. 8 Juni Tahun 2020 yang berisi melanjutkan tahapan penyelengaraan Pilkades dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Pilkades Ditunda, Rasa Keadilan Masyarakat Terusik

Polemik pelaksanaan Pilkades Serentak di Kabupaten Ciamis kembali berlanjut dan memuncak dengan keluarnya Surat Mendagri Nomor 141/4528/SJ Tangal 10 Agustus 2020 Perihal penundaan pelaksanaan Pilkades Serentak dan Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu.

Surat edaran tersebut memuat pertimbangan kepentingan strategis nasional yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember Tahun 2020, Kabupaten/Kota baik yang menyelenggarakan Pilkada maupun yang tidak menyelenggarakan Pilkada diminta untuk menunda pelaksanaan Pilkades Serentak dan Pilkades Antar Waktu sampai selesainya penyelenggaran Pilkada Serentak Tahun 2020.

Keluarnya surat edaran Menndagri tersebut persis bersamaan dengan tahapan Kampanye Pilkades Serentak atau tepatnya hanya 5 hari menjelang dilaksanakannya pemungutan suara.

Keputusan tersebut menuai protes keras dari masyarakat dengan terjadinya audiensi dan demonstrasi 3 hari berturut-turut pada tanggal 11, 12 dan 13 Agustus dan mendesak pemerintah daerah Kabupaten Ciamis untuk tetap menyelenggarakan Pilkades pada tanggal 15 Agustus 2020.

Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati melakukan upaya maksimal dengan konsultasi dan menyampaikan permohonan untuk tetap diselenggarakan pilkades serentak. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kemendagri tidak bergeming dan tetap meminta Bupati Ciamis untuk menunda Pilkades.

Pada tanggal 14 Agustus 2020, sehari sebelum pelaksanaan Pilkades digelar, Bupati Ciamis melalui surat keputusan Nomor 141.1/Kpts. 428-Huk/2020 tanggal 14 Agustus memutuskan menunda tahapan pelaksanaan Pilkades sampai dilaksanakannya Pilkada Serentak 9 Desember Tahun 2020.

Kekecewaan masyarakat, penyelenggaran pemilihan Kepala Desa dan para Calon Kepala Desa dapat dipahami, karena bukan saja sudah keluarnya anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang secara normatif dikeluarkan untuk membiayai tahapan yang sudah dilaksanakan.

Bahkan sudah sampai pada tahapan persiapan pemungutan dengan sudah beredarnya undangan pelaksanaan pemungutan suara kepada pemilik suara, dicetaknya kertas suara tapi juga sudah disiapkannya tenda-tenda sebagai Tempat Pemugutan suara, artinya anggaran pelaksanaan sudah terserap hampir 100 persen.

Tidak kalah ironis dan jumlahnya bisa sangat fantastis adalah telah keluarnya biaya politik para calon kepala desa yang nilainya sangat besar. Dengan penundaan tersebut, biaya politik tersebut dapat dibilang hangus dan para calon kepala desa harus kembali mengeluarkan biaya politik yang sama pada saat tahapan pemungutan suara akan dilaksanakan kemudian.

Politik Hukum Penundaan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) Serentak

Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia seperti; kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda dari pihak pihak yang merugikan (Van Apeldorn: 1958).

Surat Mendagri Nomor 141/4528/SJ Tanggal 10 Agustus 2020 dapat dipandang tidak memenuhi tujuan hukum sebagaimana yang dimaksud oleh Apeldorn. Karena dengan penundaan PILKADES tersebut tatanan kehidupan sosial masyarakat yang awalnya tertib menjadi terganggu (tidak kondusif).

Hal ini terbukti dengan dilakukannya aksi demonstrasi, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut oleh berbagai unsur masyarakat, meliputi panitia, para calon kepala desa dan masyarakat pemilih dalam PILKADES.

Selain itu, penundaan PILKADES tersebut pun dipandang telah mendegradasi nilai keadilan hukum, yang sejatinya merupakan instrumen utama dalam konsepsi negara hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbrouch, bahwa tujuan hukum meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Benar bahwa Keputusan Penundaan menjadi kewenangan Bupati/Walikota tapi pada saat yang sama keluarnya Keputusan Bupati Ciamis dapat dibaca hanya sebagai stempel atas kebijakan Mendagri yang menghendaki penundaan tahapan Pemilihan Kepala Desa.

Alasan Keputusan Mendagri menunda tahapan ini dapat dilihat tidak melalui kajian komperhensif melihat kondisi dan tahapan pelaksanaan pilkades di daerah. Selain itu, dapat dilihat juga tidak adanya relasi yang logis antara alasan penundaan Pilkades serentak didasarkan pada suksesnya kepentingan strategis nasional yakni pelaksanaan Pilkades.

Secara sederhana dapat dibaca bahwa pelaksanaan Pilkades di Kabupaten Ciamis sebagai wilayah yang tidak berpartisipasi (tidak menyelenggarakan) Pemilihan Kepala Daerah tidak akan mengganggu tahapan dan suksesnya pelaksanaan Pilkada di wilayah kabupaten lain, sekalipun wilayah yang melaksanakannya berbatasan langsung.

Pilkades itu pesta demokrasi lokal di tingkat desa, kepentingannya terbatas di lokal desa, jikapun ada hubungan politisnya secara langsung terkait dengan kepentingan kepala daerah di kabupaten Ciamis, tidak di kabupaten lain. Apalagi pelaksanaan Pilkades serentak dimaksud tersebut tidak dilaksanakan di seluruh desa, hanya di 143 desa saja di wilayah Kabupaten Ciamis.

Tidak ada faktor-faktor yang secara jelas eskplisit dalam surat Mendagri tersebut yang menjadi alasan penundaan, karena itu masyarakat memandang ini sangat merugikan dan tidak dapat diterima dengan akal sehat.

Produk hukum, keputusan-keputusan politik sebagai realisasi “law in the book” menjadi “law in the action” menjadi teringkari. Alih-alih keputusan hukum bertujuan sebagai alat yang mengatur tatanan sosial sehingga terwujud ketentraman kehidupan masyarakat tapi malah menimbulkan ketidaktertiban dan merugikan masyarakat, baik secara moril dan secara material.

Puluhan milyar uang para calon kepala desa sudah dikeluarkan dan itu akan kembali berulang pada saat akan pelaksanaan pemungutan suara ditahapan ahir berikutnya.

Keputusan tersebut mungkin dapat dipandang adil bagi kabupaten kota lain yang tahapan pilkadesnya belum seperti Ciamis yang hanya menyisakan waktu 5 hari menjelang pemungutan suara. Kabupaten Kota lain mungkin baru tahapan penetapan nomor urut saja, sehingga anggaran belum banyak dikeluarkan, baik penyelenggara (panitia) maupun calon kades.

Dibutuhkan terobosan hukum sebagai antisipasi ada kejadian-kejadian serupa yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang. Pengecualian dalam hukum bukanlah hal tabu karena hukum seringkali menjadi tidak dirasakan adil sesuai dengan waktu. Selain itu juga keadaan dan situasi masyarakat dan subjek hukumnya.

Oleh : Sopwan Ismail
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Galuh Ciamis

- Advertisement -
- Advertisement -
 
 
Berita Terbaru

Jersey Baru Timnas Indonesia Dihujat, Erick Thohir Angkat Bicara

Galuh.id- Brand Erigo melalui apparel Erspo secara resmi meluncurkan jersey baru untuk Timnas Indonesia baik yang untuk laga kandang...

Artikel Terkait